petik laut

PROSESI UPACARA ADAT PETIK LAUT MUNCAR

05 Mei 2021 08:20
petik laut muncar
admin

Indonesia adalah negeri yang penuh dengan keberagaman seni, tradisi, dan budaya. Keanekaragaman ini tidak melunturkan “Bhinneka Tunggal Ika(Berbeda namun tetap satu jua) untuk terus menjaga dan melestarikannya dari yang telah diwariskan oleh para leluhur hingga saat ini. Keanekaragaman budaya inilah yang turut membentuk identitas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain (Kayam, 1985:5). Banyuwangi merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang dikenal akan kekayaan seni tradisi, budaya, pesona alam, maupun kulinernya. Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah yang terletak di ujung timur pulau Jawa. Secara kultural, Banyuwangi menyerap dari pusat-pusat budaya Jawa, Bali, Madura, Sumatera, Arab, Cina, Bugis, dan Aceh. Setidaknya ramuan dari berbagai budaya itu, mengadakan transformasi budaya Banyuwangi, karena letak Banyuwangi dekat dengan bandar-bandar(pelabuhan) yang punya hubungan timbal balik dalam kepentingan politik, dan ekonomi (Armaya, 2002). Banyuwangi juga terdapat berbagai macam suku diantaranya suku Jawa, Madura, Bali, dan Mandar yang hidup harmonis. Meskipun mayoritas penduduk di Banyuwangi adalah suku Osing, tetapi tidak menutup kemungkinan suku-suku lain juga tetap eksis dengan tradisi dan budayanya masing-masing. Penduduk di Kabupaten Banyuwangi sangat hidup harmonis seperti penduduk yang berasal dari suku Jawa dan suku Madura yang hidup harmonis disalah satu kecamatan yang ada di Banyuwangi. Masyarakat suku Jawa dan suku Madura ini bertempat tinggal di pesisir pantai di Kecamatan Muncar.

Kecamatan Muncar dikenal sebagai wilayah yang mempunyai kekayaaan sektor perikanan terbesar se pulau Jawa. Masyarakat pesisir pantai, yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan mempunyai cara pandang sendiri untuk mengungkapkan kenikmatan atas segala kelimpahan dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan rasa syukur yang dimaksud adalah tradisi yang biasa disebut dengan upacara adat petik laut yang telah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun lalu, diwariskan oleh nenek moyang dan para leluhur. Menurut Koentjaningrat, dalam (Dwijayanti Dessy Putri, 2017) upacara adat merupakan suatu bentuk acara yang dilakukan bersistem dengan dihadiri secara penuh oleh masyarakat sehingga merasakan adanya kebangkitan dalam diri mereka. Hingga kini, upacara adat petik laut diadakan oleh masyarakat pesisir Muncar benar-benar dijaga kesakralannya. Petik dalam bahasa Indonesia berarti mengambil, laut adalah ciptaan Tuhan yang di dalamnya terdapat banyak sekali ekosistem yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber dari mata pencahariannya, yaitu nelayan. Secara keseluruhan arti dari Petik Laut berarti “mengambil usaha dan keberkahan dari laut”. Upacara adat petik laut dilaksanakan setiap

satu tahun sekali, tepatnya dilaksanakan pada bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa. Petik laut menarik perhatian masyarakat luas dengan adanya kesenian khas Kabupaten Banyuwangi yang di masukkan pada prosesi upacara adat petik laut. Kesenian Gandrung, merupakan kesenian yang turut andil dalam prosesi upacara adat petik laut. Kesenian Gandrung tidak semerta-merta memeriahkan, tetapi dalam kesenian tersebut Gandrung memiliki peran disetiap prosesi upacara adat petik laut. Selain itu, Gandrung juga merupakan ikon dari kesenian inti yang ada di Banyuwangi. Gandrung Banyuwangi merupakan sumber dari kesenian yang ada di Banyuwangi, maka pelestarian kesenian Banyuwangi merupakan usaha atau proses kebudayaan (Armaya, 2002) Menurut Armaya, 2002 Gandrung merupakan “tari” dan “nyanyian” sekaligus, penarinya seorang perempuan, menari sambil menyanyi. Dari Gandrung Banyuwangi ternyata banyak menguak tentang sejarah Banyuwangi itu sendiri, terutama bila kita kaji tentang “nyanyian” yang mereka bawakan (Armaya, 2002) Hingga kini, kesenian Gandrung sering ditampilkan pada suatu acara, penyambutan tamu, hiburan masyarakat, dan lain-lain.

Adapun penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya oleh (Yunitasari Helmi, 2017) dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang pada tahun 2017. Penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Mitos Upacara Petik Laut Masyarakat Etnis Madura di Desa Tembokrejo Muncar Banyuwangi”. Penelitian ini menganalisis tentang wujud mitos dan fungsi mitos dalam upacara adat petik laut menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini memiliki persamaan membahas upacara adat petik laut. Dengan subjek dan objek yang berbeda yaitu penari Gandrung dan peran penari Gandrung dalam upacara adat petik laut. Hasil penelitian mendeskripsikan (1) cerita Nyi Rodo Kidul (2) ritual adat petik laut yang dipercaya sebagai persembahan terhadap Nyi Roro Kidul. Pembahasan yang akan peneliti ambil dari upacara adat petik laut, merupakan (1) rangkaian prosesi upacara adat petik laut (2) peran dan fungsi penari Gandrung dalam upacara adat petik laut.

Upacara adat petik laut di Muncar telah ada sejak tahun 1902 hingga sekarang. Rangkaian prosesi upacara adat Petik laut di pesisir pantai Muncar ini berbeda dengan petik laut di daerah pesisir lain yang ada di Banyuwangi. Petik laut di daerah lain tidak melalui prosesi-prosesi seperti yang dilakukan dipetik laut daerah Muncar, meskipun bersamaan pelaksanaannya pada bulan Syuro. Petik laut di pesisir Muncar setiap rangkaian prosesinya sangat sakral dan mempunyai makna di dalamnya, ditambah dengan adanya Gandrung yang turut andil di dalam pelaksanaan upacara tersebut. Beberapa upacara adat petik laut yang dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi, juga terdapat penari Gandrung yang turut andil di dalamnya, namun ada satu rangkaian prosesi yang berbeda dengan petik laut yang lainnya. Hal ini, membuat peneliti sangat tertarik untuk mengkaji dan memfokuskan penelitian pada upacara adat petik laut di Muncar dari segi makna apa yang terdapat disetiap rangkaian prosesi upacara adat petik laut dan Gandrung didalam upacara adat petik laut yang dilaksanakan di pelabuhan Muncar Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi.


Penelitian dengan judul “Peran Penari Gandrung pada Upacara Adat Petik Laut di

Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi” merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan oleh peneliti dengan cara mengamati objek dan berkomunikasi dengan seseorang yang berhubungan dengan fokus penelitian, tujuannya agar menemukan makna dari suatu fenomena, menggali informasi, dan memahami terkait penelitian yang dilakukan. Data yang telah terkumpul berbentuk kata, tulisan, atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka. Data yang terkumpul setelah dianalisis selanjutnya dideskripsikan sehingga mudah dipahami oleh orang lain. Penelitian ini menganalisis terkait objek penelitian yang nantinya akan ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dan melalui observasi lapangan pada saat upacara adat petik laut dilaksanakan.

Pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber yang langsung memberikan data kepada peneliti atau penampung data, dan sumber sekunder yaiitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada penampung data, seperti contohnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Prof. Dr. Sugiyono, 2019) Terkait penelitian yang dilakukan, sumber data diperoleh dari subjek yaitu penari Gandrung. Sumber data penelitian diperoleh dari tiga sumber, yaitu sumber data lisan, sumber data tertulis, dan sumber data dokumentasi. Sumber data lisan diperoleh dengan melakukan wawancara pada narasumber. Sumber data tertulis diperoleh dari buku, jurnal, dan artikel. Sumber data dokumentasi diperoleh dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan narasumber. Dokumentasi foto dan video yang diperoleh yaitu foto peneliti bersama dengan para narasumber, foto dengan penari Gandrung, foto dan video pelaksanaan upacara adat petik laut, foto dan rangkaian prosesi upacara adat petik laut. Foto dan video yang diperoleh tersebut merupakan hasil dokumentasi pribadi peneliti menggunakan ponsel milik peneliti. Sumber data dokumentasi tersebut sangat membantu mendeskriptifkan data untuk memperkuat data penelitian.

Teknik pengumpulan data pada penelitian yang dilakukan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Desember tahun 2021. Pelaksanaan observasi dilakukan di daerah Muncar tepatnya desa Duaraan, pelabuhan ikan, ditengah laut, dan Sembulungan Muncar, hal ini dilakukan untuk bisa mengetahui secara langsung seperti apa rangkaian Upacara Adat Petik Laut dan Peran penari Gandrung yang ikut serta dalam prosesi tersebut. Wawancara didapat melalui narasumber yang sangat paham dengan topik yang peneliti ambil dalam penelitian ini, narasumber tersebut antara lain H. Hasan Basri (56 th) selaku tokoh adat dan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Banyuwangi, Mat Shaleh (95 th) selaku sesepuh adat pengisi sesajen, Erna Nur Hidayah/Devi (22th) selaku penari Gandrung tahun 2020, Nanda (18 th) dan Arbani (19 th) selaku penari Gandrung tahun 2021. Pengumpulan data yang telah diperoleh tersebut, untuk mengetahui rangkaian dan peran penari Gandrung pada prosesi upacara adat petik laut di daerah pesisir Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.

Teknik analisis data atau memproses data menjadi informasi dilaksanakan dengan beberapa tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada proses menganalisis data setelah mengumpulkan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, peneliti mereduksi data. Reduksi data merupakan proses pemilihan data yang dirasa penting atau tidaknya data di lapangan yang telah didapat melalui pengumpulan data. Fungsi dari penyajian data ini adalah untuk menyajikan hasil dari reduksi data disusun sesuai informasi yang telah diperoleh kemudian menjadi kesimpulan. Penyusunan teks yang dilakukan peneliti berdasarkan hasil reduksi data dan disajikan berdasarkan peristiwa yang terjadi sehingga penyajian data merupakan simpulan dari penelitian. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada (Prof. Dr. Sugiyono, 2019). Penarikan kesimpulan merupakan langkah akhir dari analisis data setelah penyajian data. Pada langkah penarikan kesimpulan ini, peneliti melakukan penyimpulan data yang sudah terfokus sesuai pembahasan penelitian yang sudah dilaksanakan. Teknik keabsahan data terdapat dua cara diantaranya triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara narasumber satu dengan narasumber lainnya. Triangulasi teknik dilakukan melalui wawancara dengan narasumber lalu dikaitkan dengan data observasi dan dokumentasi yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik keduanya, yaitu sumber dan teknik. Tahapan penelitian melalui proses tiga tahap diantaranya perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.

  1. Prosesi Upacara Adat Petik Laut Muncar

Prosesi upacara adat petik laut di Muncar tahun 2021 dilaksanakan dengan prokes yang sangat ketat, ketua panitia dan sesepuh adat sangat mewanti-wanti anggotanya untuk tetap mengenakan masker dan prokes lainnya. Di era pandemi seperti sekarang ini sebenarnya sangat disayangkan karena tidak semua masyarakat Muncar tidak diperbolehkan untuk turut andil dalam setiap rangkaian prosesi upacara adat petik laut mengingat semakin meningkatnya Covid-19. Persiapan pada upacara adat petik laut yang utama adalah mempersiapkan miniatur perahu kecil atau disebut dengan “githik”, kedua yang perlu dipersiapkan perahu besar yang nantinya akan mengangkut “githik” untuk dilarungkan ke laut. Apabila keduanya sudah selesai dipersiapkan, maka selanjutnya masuk pada tahapan- tahapan rangkaian upacara adat petik laut di Muncar yaitu diantaranya:


  1. Doa Bersama

Tahapan pertama sebelum hari H atau lebih tepatnya H-3 tanggal 12 Suro diadakan do’a dan dzikir bersama di pesisir Muncar yang diikuti oleh masyarakat pesisir dengan mayoritas masyarakatnya adalah nelayan. Tempat diadakannya do’a bersama ini ditentukan dan disepakati oleh masyarakat, dengan catatan mudah dijangkau oleh banyak orang dan luas. Do’a dan dzikir ini dilakukan hanya pada satu titik saja. Masyarakat yang hadir dan mengikuti do’a bersama ini menjaga protokol kesehatan yang telah ditentukan untuk menjaga menularnya Covid-19.

  1. Rapat Persiapan Hari H

Persiapan pelaksanaan upacara adat petik laut dilakukan oleh para panitia pada tanggal 13 Suro yang disebut gladi resik. Tujuan daripada gladi resik ini adalah untuk mengevaluasi mana yang masih belum tertangani dan mana yang sudah tertangani. Jika ada yang belum tertangani panitia secepatnya menunjuk seksi yang bersangkutan untuk segera memenuhi kebutuhan dari petik laut itu sendiri. Panitia sangat antusias dengan pelaksanaan upacara adat petik laut ini, walaupun rasa dan situasinya sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya akibat pandemi, tetapi panitia tetap dengan totalitas menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk upacara ini karena memang wajib dilaksanakan satu tahun sekali.

  1. Ider Bumi

Tahapan ketiga pada tanggal 14 Suro pagi, disetiap masjid-masjid yang ada dipesisir Muncar dianjurkan untuk mengadakan khatmil quran. Tujuannya agar diberi kelancaran dalam setiap rangkaian prosesi upacara adat petik laut. Pukul 14.00 dilanjutkan dengan kegiatan ider bumi. Ider bumi merupakan arak-arakan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan di Muncar dan juga panitia. Selain arak-arakan pada hari H, arak-arakan juga dilakukan H-1 sebelum dilaksanakannya upacara adat petik laut. Arak-arakan ini dijalankan diseluruh wilayah kecamatan Muncar, dengan tujuan untuk memberitahukan kepada seluruh masyarakat Muncar bahwa besok akan diadakan upacara ada petik laut. Pada saat itu, ada panitia bertugas menaruh jenang yang di letakkan di takir (wadah yang terbuat dari daun pisang) di letakkan disetiap babakan-babakan sungai (pertemuan air laut dengan air sungai). Ada tujuh babakan yaitu di daerah Wringinputih, Kedungrejo, Tembokrejo, Sumbersewu, Kumendung, Sumberberas, dan Kedungringin.

Disisi lain pada tahun 2021 ini, pelaksanaan upacara adat petik laut, tidak melaksanakan rangkaian ider bumi yang telah dijelaskan diatas. Satgas Covid-19 di daerah Muncar pun juga melarang masyarakat untuk tidak mengumpulkan banyak masa. Jika rangkaian ider bumi ini tetap dilaksanakan maka yang terjadi ialah masyarakat berkerumun dan ingin turut andil di dalamnya. Jadi, panitia menyepakati untuk rangkaian prosesi upacara adat ini tidak melaksanakan ider bumi sebelum hari H.

  1. Pengisian Sesajen

Pukul lima sore githik dibawa ke tempat , yang dimana di lokasi tersebut sudah ada beberapa tokoh adat, pawang, pemilik perahu besar, dan para nelayan. Tokoh adat dan pawang bertugas untuk membuat sesajen dan mengecheck kelengkapan sesajen-sesajen tersebut. Salah satu syarat dari ritual/keyakinan akan berhasilnya tujuan dan cita-cita pertunjukan berupa ubarampen atau peralatan ritual (Minarto Soerjo Wido, 2020). Sesajen terdiri dari kepala kambing, pancing emas, jenang merah putih, jenang pliring (hitam), jajanan pasar, nasi uduk, nasi tumpeng, nasi rasul, semua buah-buahan, pisang raja, pisang pulut, ayam hidup (pitik walik), bunga, dan dupa. Sesajen yang diisikan didalam githik harus lengkap, karena apabila terdapat satu saja sesajen yang tidak ada, akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan yaitu kesurupan bahkan kematian. Hal tersebut peneliti konfirmasi kepada Mbah Mat Shaleh selaku sesepuh adat petik laut memang benar adanya. Maka dari itu, masyarakat mempercayakan segala sesuatu yang akan diisikan didalam githik kepada sesepuh adat untuk menghindari hal yang tidak diinginkan tersebut.

Sesajen yang diisikan di dalam githik tidak semerta-merta langsung di taruh di dalamnya, tetapi pada saat mengisi sesajen tersebut terdapat doa khusus yang dibacakan oleh pawang dan dibantu oleh sejumlah masyarakat yang hadir ditempat. Doa pada saat pengisian sesajen adalah “bismillahirrohmanirrohim ya rahmanu ya rahimu”. Arti dari bacaan doa adalah memohon kewelasan memohon kasih sayang kepada Allah SWT, agar pelaksanaan upacara adat petik laut berjalan dengan lancar serta ikan yang di laut bisa melimpah. Harapannya Allah memberi keselamatan dan dijauhkan dari segala musibah.

  1. Pembacaan Macapat Lontar
    Prosesi pengisian sesajen selesai, dilanjutkan kegiatan selanjutnya yaitu doa bersama atau istighosah yang dilaksanakan setelah ba’da sholat Isya’ di tempat diletakkannya githik yaitu di rumah donatur yang membiayai seluruh pengeluaran kebutuhan upacara adat petik laut. Disisi lain setelah dilakukannya doa bersama, terdapat suatu grup yang membacakan macapat-macapat lontar yang isinya doa-doa catatan kuno di depan githik. Mengundang suatu grup khusus karena memang grup tersebut yang bisa membaca lontaran tulisan pegon/kuno. Catatan kuno tersebut berisikan sejarah dari para Nabi. Kegiatan mocoan lontar dilaksanakan oleh suatu grup tersebut pada pukul 9 malam hingga subuh pada hari H pelaksanaan upacara adat petik laut
  1. Iring-iringan “Githik”
    Upacara adat petik laut dilaksanakan satu tahun sekali tepatnya pada bulan Syuro atau bulan Muharram yaitu jatuh pada tanggal 15 Suro. Arak-arakan merupakan bentuk sajian seni pertunjukan, selama ini materi untuk arak-arakan dikembangkan dari kreasi yang mempertimbangjan bahan, seperti arak-arakan batik, arak-arakan bunga, atau jenis arak- arakan yang menampilkan karakteristik masyarakat ‘jadul’ (zaman dahulu) (Hidajat Robby et al., 2021). Pelaksanaan prosesi arak-arakan dimulai dari pukul 06.00-08.00 panitia berkumpul di rumah donatur pendanaan seluruh kebutuhan upacara adat petik laut githik sebelum arak-arakan Githik dilakukan. Ada dua penari Gandrung yang menari didepan halaman rumah tempat Githik/sesajen diletakkan. Dua penari Gandrung menari dengan tarian Jejer Gandrung Jaran Dawuk dengan indah didepan para tamu undangan, Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, sesepuh tokoh adat, panitia, beberapa masyarakat, dan juga mahasiswa yang datang. Sebuah tarian bertujuan untuk mengkomunikasikan gagasan dan oleh karena itu begitu banyak hal terdapat dalam tari itu lebih dari hanya skedar rangkaian gerak (Smith Jacqueline, 1985). Arak-arakan akan dilaksanakan apabila sudah dilakukan pemasangan pancing emas di lidah kepala kambing kendit oleh donatur. Pemasangan pancing emas ini dibantu oleh beberapa tokoh masyarakat yang hadir dan dilakukan dengan membacakan sholawat nabi secara bersama-sama.

Pemasangan pancing selesai dilakukan, tibalah ke rangkaian arak-arakan. “Githik” diangkat dan dinaikkan ke atas mobil pick up bersama dengan dua penari Gandrung tokoh adat dan sesepuh adat yang menampingi githik. Githik ini merupakan simbol dari dilaksanakannya upacara adat petik laut yang sudah didoakan dan ditirakati, maka dari itu sangat hati-hati dalam membawanya dan harus tetap tegak. Bapak Hasan Basri selaku tokoh adat dan narasumber menyampaikan kepada peneliti bahwasanya, dahulu arak-arakan ini dipikul dan sangat dijaga ketat. Seiring berjalannya waktu, untuk menjaga karena melihat jaraknya terlalu jauh dari pelabuhan, maka dinaikkan mobil pick up yang dirasa aman dan menghindari agar tidak roboh. Arak-arakan githik ini dibawa ke pelabuhan Muncar dan langsung akan dinaikkan ke atas perahu besar yang sudah disediakan oleh panitia. Perahu besar inilah nantinya yang akan membawa githik untuk dilarungkan ke tengah laut. Perahu besar yang membawa githik ini beriring-iringan dengan beberapa perahu lain yang tujuannya untuk mengawal perahu yang membawa githik tersebut

  1. Larung Sesaji/Githik
    Larung sesaji ini merupakan inti dari dilaksanakannya upacara adat petik laut di Muncar. Larung berarti hanyut dan sesaji merupakan sesajen yang sudah diletakkan di dalam githik, maka larung sesaji memiliki arti menghanyutkan sesajen. Larung sesaji dilaksanakan tepatnya dari bibir pantai kurang lebih dua mil hingga tengah laut masyarakat menyebutnya di daerah Batu Layar utara Sembulungan (Semenanjung Blambangan) dan memakan waktu kurang lebih 40 menit untuk sampai di lokasi tersebut. Sesampainya di lokasi semua perahu yang ikut ke lokasi pelarungan, baik yang membawa githik dan perahu yang beriringan berhenti untuk melarungkan sesajen. Seluruh perahu saling berdekatan dan menyaksikan pelarungan sesajen. Sebelum melarungkan sesajen, semua yang ada di perahu utama berdoa dengan khusyu’ dimana doa dipimpin oleh tokoh adat. Sholawat berkumandang bersamaan dengan githik dilarungkan dengan rasa suka cita dan hikmat. Harapan yang dipanjatkan oleh masyarakat, agar para nelayan yang mencari nafkah dilaut selalu diberi keselamatan, keberkahan, dan limpahan rahmatNya. Masyarakat juga mengungkapkan rasa syukur atas segala kebaikan yang telah diberikan oleh sang pencipta.

Masyarakat yang ikut dalam pelarungan sebagian ada yang ikut menyebur ke laut untuk mengambil ayam yang hidup, alasan mengapa ayam yang hidup tersebut diambil kembali, karena tidak mungkin mengorbankan nyawa makhluk hidup di laut. Para penumpang perahu juga mengambil berkah, tolak balak, dengan harapan diberi keselamatan bekerja, rezeki yang melimpah. Cara yang dilakukan masyarakat tersebut dengan cara memercikkan dan menyiramkan air laut ke perahu yang ditumpangi. Tidak hanya pada perahu, tetapi orang- orang juga saling percik-percikan air laut dengan kebahagiaan, hal ini sebagai bentuk rasa syukur selesainya rangkaian prosesi upacara adat petik laut di Muncar Rombongan perahu tidak langsung kembali ke daratan, tetapi ada satu rangkaian yang juga merupakan prosesi wajib dan sakral dari upacara adat petik laut. Kegiatan tersebut adalah ziarah ke makam yang ada tanjung Sembulungan.

Makam yang ada di tanjung Sembulungan merupakan makam dari Buju Gandrung/Gandrung, sebenarnya masyarakat mempunyai banyak versi terkait dari makam siapa. Sebagian masyarakat percaya bahwa makam tersebut merupakan makam dari Sayid Yusuf. Pulau Sembulungan merupakan tempat makam Syech Sayid Yusuf dan penari Gandrung, penari Gandrung tersebut meninggal pada saat upacara petik laut dilaksanakan. Hal itu terjadi diakibatkan sesaji kurang lengkap atau penari Gandrung tidak memenuhi syarat sehingga membuat Nyi Roro Kidhul marah dan akhirnya merenggut nyawa penari Gandrung tersebut. (Wulandari Widya, 2013)

Sayid Yusuf ini menurut masyarakat adalah seseorang yang pertama kali membawa dan mencetuskan ide dari upacara adat petik laut di Muncar dan menyukai kesenian Gandrung. Oleh karenanya, mitos menyebutkan Gandrung wajib dihadirkan karena memang kesenangan dari Sayid Yusuf itu sendiri. “Kalau ditanya siapa yang membawa pertama adanya petik laut itu adalah orang perantau dari tanjung luar. Dia melaut sampai ke Muncar, melihat situasi di Muncar kok seperti ini terjadi paceklik dan sebagainya, akhirnya dicoba untuk diadakan petik laut” ungkap bapak Hasan Basri.

Versi selanjutnya merupakan mitos yang diungkapakan oleh bapak Mat Shaleh selaku sesepuh adat, beliau mengatakan bahwa dua makam yang ada di tanjung Sembulungan adalah makam dari penari Gandrung dan penabuh kluncing (alat musik). Kronologi yang terjadi, pada saat rangkaian proses, di tengah laut Gandrung dan penabuh kluncing sakit perut, karena jarak dari daratan terlalu jauh maka keduanya meninggal di atas perahu dan dimakamkan di tanjung Sembulungan. Pelaksanaan ziarah di makam yang ada di tanjung Sembulungan, dapat diamati pada gambar di bawah ini.

Pada ziarah ini penari Gandrung lah yang paling utama berperan, dibantu dengan tokoh adat berdoa di samping makam. Masyarakat juga ikut berdoa dengan hikmat dan tenang disekitar makam. Ini merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat terhadap makhluk hidup baik yang tampak maupun tidak tampak di alam dengan cara mendoakan, mengopeni, dan mewelas asihi siapapun yang ada diarea tanjung sembulungan tersebut. Ziarah selesai dilakukan, tokoh adat, penari Gandrung, dan juga masyarakat yang turut mengikuti prosesi ziarah tersebut kembali ke perahu yang ditumpangi masing-masing untuk melanjutkan perjalanan pulang ke daratan, dan itulah beberapa tahapan-tahapan dari rangkaian upacara adat petik laut di Muncar kabupaten Banyuwangi.

  1. Gandrung dalam Upacara Adat PetikLaut
    Gandrung dalam bahasa Osing berarti ‘kedanan’ , dalam bahasa Indonesia ‘kedanan’ artinya tergila-gila. Seperti John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi, 1926, Bab “Kata Gandrung” antara lain menulis : Rakyat Blambangan tidak mengetahui arti kata “Gandrung”. Menurut kamus Kawi-Jawa dari winter kata Gandrung berarti “pertunjukan” atau “melihat kepadanya” atau “jatuh cinta” atau “terpikat”. Pada bahasa Jawa dewasa ini artinya diperkuat menjadi: “jatuh cinta sampai tergila-gila” atau “menangis tersedu-sedu dikarenakan kehilangan kekasih” sedang arti “cinta” biasanya diterjemahkan dengan “kedanan”. Secara garis besar perjalanan asal-usul Gandrung Banyuwangi, awalnya penari Gandrungnya adalah laki-laki kemudian digantikan oleh penari Gandrung perempuan. Mulai perjalanan ini baik musik pengiring dan pakaian serta hiasan Gandrung selalu ada perubahan, contohnya musik pengiring Gandrung awalnya hanya kendang, bonang (kempul), gong, dan mulut (yang kemudian diganti suling) yang akhirnya diganti dengan biola (Armaya, 2002). Gandrung adalah ungkapan sejarah penindasan dan perlawanan orang Using, karena ia adalah sebuah citra yang harus dijaga keaslian dan keberadaannya. Regulasi bahwa Gandrung adalah maskot pariwisata, bahwa untuk merawat Gandrung harus menjadi gugus terdepan ’jenggirat tangi’ adalah serangkaian kebijakan politik bagian dari genderang politik etnisitas di Banyuwangi yang ditabuh sepanjang 2000-2005 (Anoegrajakti Novi, 2007)

Pada pertunjukan Gandrung menyajikan tarian dan nyanyian dengan ciri khas yang unik perpaduan musik Jawa dan Bali. Bila dikaji kesenian tradisional Gandrung Banyuwangi ini merupakan sumber dari kesenian tradisional lainnya, terutama dari “tariannya” dan “nyanyiannya” yang berbentuk monumental. Gandrung Banyuwangi merupakan sumber dari kesenian yang ada di Banyuwangi, maka pelestarian kesenian Banyuwangi merupakan usaha atau proses kebudayaan. Gandrung Banyuwangi juga merupakan kesenian yang bisa diterima oleh masyarakat, merupakan hiburan yang menyenangkan. Pada umumnya pada zaman itu Gandrung diperagakan di depan halaman rumah yang mengundang dan Gandrung bermain di atas tanah yang diberi alas tikar dan penontonnya duduk di atas tanah, jongkok atau berdiri disekitar arena, tidak ada tamu yang duduk di kursi (Armaya, 2006). Selain mempertunjukkan gerakan yang indah, penari Gandrung juga menyanyikan lagu dengan lirik yang dalam, yaitu sejarah dan cerminan isi hati rakyat Blambangan. Adapun pola penyajian Gandrung terdiri dari beberapa babak yaitu Jejer, Paju, dan Seblang. Pada babak pertama yaitu Jejer, lagu (gendhing) yang dinyanyikan adalah “Podho Nonton”. Babak kedua yaitu Paju, lagu (gendhing) yang dinyanyikan sesuai dengan permintaan penonton atau pemaju dari penari Gandrung tersebut. Babak ketiga yaitu Seblang, lagu (gendhing) yang dinyanyikan adalah “Seblang Lukito”. Sejak tahun 1895 bentuk Gandrung laki-laki digantikan oleh Gandrung perempuan, maka sejak itulah tontonan Gandrung Banyuwangi makin marak dan banyak dipelajari orang (Armaya, 2002:16).

Kesenian Gandrung pada tahun 1960 menjadi akar budaya masyarakat agraris, sebagai kebutuhan masyarakat yang berada di pesisir untuk pelaksanaan upacara adat Petik Laut di Muncar Kabupaten Banyuwangi. Petik Laut bertujuan untuk bagaimana para nelayan memiliki rasa dan sikap welas asih kepada alam. Welas asih yang dimaksud ialah bentuk perhatian para nelayan kepada lingkungan di wilayah Muncar khususnya lingkungan laut. Laut juga terdapat makhluk hidup seperti hewan laut yang perlu dijaga, adapula makhluk yang tidak tampak/ghaib. Bahwa, para nelayan harus membentuk rasa dan sikap welas asih tersebut dengan cara Sedekah Laut atau yang sekarang sering disebut Petik Laut. Lokasi diselenggarakannya upacara adat Petik Laut di Tanjung Sembulungan, Pantai Muncar Kabupaten Banyuwangi dan diikuti oleh seluruh masyarakat Muncar dengan rasa syukur atas segala kelimpahanNya.

Gandrung diklaim oleh masyarakat dan tokoh adat yang berada di wilayah pesisir pantai Muncar, menjadi bagian penting dalam prosesi upacara adat Petik Laut. Dalam tarian dan nyanyian yang disajikan terdapat filosofi dan makna akan rasa suka duka serta rasa syukur. Oleh karena itu, Gandrung wajib di masukkan dalam pelaksanaan upacara adat Petik Laut selain menjadi ikon dan identitas dari kabupaten Banyuwangi. Ada beberapa rangkaian prosesi upacara adat Petik Laut yang penari Gandrung turut andil di dalamnya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada narasumber sesepuh adat, dahulu sekitar pada tahun 1960 sampai tahun 2000-an, penari Gandrung yang turut andil dalam prosesi upacara adat Petik Laut dari tahun ke tahun menggunakan penari Gandrung yang sama dengan kriteria bisa menyanyi dan menari. Penari Gandrung yang dimaksud masih ada garis keturunan dari penari Gandrung perempuan pertama yaitu “Semi”. Perubahan juga terjadi pada penari dan pemusik dimana keduanya dahulu ikut menaiki perahu yang membawa githik, namun saat ini pemusik tidak ikut menaiki perahu, hanya penari Gandrung saja.

Dahulu penari Gandrung yang menjadi penari dalam pelaksanaan upacara adat petik laut adalah penari yang berasal dari daerah Cungking, Banyuwangi. Penari tersebut masih ada darah keturunan dari penari perempuan pertama yaitu Gandrung Semi. Pada saat ini dan beberapa tahun sebelumnya penari Gandrung sudah tidak mengambil penari dari daerah tersebut. Hal ini dikarenakan, semakin bertambah usia juga memengaruhi kesehatan dan keselamatan dari penari terdahulu. Perkembangan dari siapa yang menjadi penari Gandrung pada upacara adat Petik Laut adalah anak-anak muda Banyuwangi yang memiliki potensi seni tari sebagai generasi dari para penari Gandrung yang sudah dikatakan tidak muda lagi. Pada kenyataannya, walaupun penari Gandrung masih anak muda, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi rasa kesakralan dari prosesi adat yang diselenggarakan oleh masyarakat pesisir Muncar. Pemilihan penari Gandrung dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi, pihak dinas menunjuk dan mempercayakan penari yang turut andil tersebut kepada salah satu anggota sanggar atau dari sekolah yang ada di Kecamatan Muncar, kemudian pihak dinas menkoordinasikannya dengan ketua pelaksana upacara adat petik laut.

  1. Persiapan penari Gandrung dalam Upacara Adat Petik Laut
    Persiapan penari Gandrung pada saat ini berbeda halnya dengan persiapan penari Gandrung pada pelaksanaan upacara adat petik laut terdahulu. Berdasarkan hasil wawancara bersama narasumber sesepuh adat, dahulu penari Gandrung harus melakukan prosesi meras Gandrung. Meras Gandrung dilakukan sebelum pelaksanaan upacara adat Petik laut digelar. Tujuan dari dilakukannya meras gandrung ini adalah untuk menjadikan penari Gandrung profesional dan mempunyai kesucian niat serta tekad yang kuat. Penari Gandrung yang menjadi penari gandrung dalam upacara adat petik laut berkunjung untuk belajar terlebih dahulu kepada maesro Gandrung yang ada daerah desa wisata adat Osing di Kabupaten Banyuwangi. Rias yang digunakan penari Gandrung dahulu memakai alat dan bahan untuk rias secara tradisional. Menurut (Azizah FN & Turyati, 2014) dahulu ketika akan pentas para penari melakukan persiapan selama 2-3 hari sebelum pentas. Penari Gandrung merawat tubuhnya menggunakan atal atau sejenis ramuan atau bedak Jawa tradisional yang digosokkaan ke tubuh penari Gandrung agar terlihat kuning langsat. Namun dalam perkembangannya persiapan penari Gandrung memiliki perubahan.

Penari Gandrung melakukan persiapan yang dilakukan pada penari pada umumnya sebelum melakukan pertunjukan, penari Gandrung melakukan persiapan diantaranya merias diri atau juga sekarang lebih dikenal dengan istilah make up dan mengenakan kostum Gandrung. Rias yang digunakan merupakan rias cantik. Tata rias dalam seni pertunjukan merupakan pendukung keberhasilan suatu karya seni pertunjukan secara menyeluruh dari setiap unsur penunjang karya seni pertunjukan. Keuntungan tata rias membantu penonton agar dapat menikmati atau melihat karakter wajah pemain dari jarak-jarak yang disesuaikan dan perbedaan wajah yang di makeup tidak mampu dilihat dari jarak-jarak yang ditentukan. Sehingga wajah akan tampak flat atau datar bahkan tidak dapat dinikmati secara jelas visualisasi karakternya (Supriyono, 2011)

Pakaian Gandrung menurut (Armaya, 2002) terdiri dari hiasan kepala disebut Kuluk atau Omprog dibentuk sedemikian rupa, dari muka mirip kuluk Janger Bali, dari samping mirip kuluk wayang orang dan dibawah melingkar dari telinga kanan ke telinga kiri, runcian (rumbai), benang emas laksana rambut dipotong pendek. Selain Omprog, kostum yang dikenakan penari Gandrung terdiri dari kelat bahu, otok/kemben, ilat-ilat, oncer, pending, sembongan, sewek batik gajah oling, dan kaos kaki. Penggunaan kaos kaki ini terdapat filosofi yaitu dulunya penari Gandrung seorang petani atau pekerja sedang berkebun diladangnya, kaos kaki tersebut hanya untuk menutupi kekurangan saja, selain itu untuk menutupi bagian kaki berfungsi untuk mempercantik dan memperindah (Dewi Atma Negara, 2012). Properti yang digunakan oleh penari Gandrung diantaranya sampur/slendang dan kipas. Rias dan busana kesenian Gandrung mengalami perkembangan. Perkembangan tata rias Gandrung, pada saat ini terjadi karena perubahan zaman yang semakin maju (Azizah FN & Turyati, 2014). Perkembangan tersebut dapat diketahui dari bahan yang dikenakan untuk kostum Gandrung pada dulu dan sekarang. Terdapat modifikasi pada bagian kostum ilat-ilat, pending, sembong yaitu penambahan manik-manik, renda, dan bahan yg lainnya menambah kesan indah bagi yang memakainya. Bahkan sekarang, terdapat penari Gandrung yang memakai kebaya berbahan tile dengan renda yang bervariasi kemudian barulah memakai kostum Gandrung.

  1. Fungsi penari Gandrung dalam Upacara Adat Petik Laut
  2. Fungsi Simbolik

Gandrung merupakan simbol seni budaya masyarakat Banyuwangi, maka karena ini merupakan simbol kekayaan dan ciri khas seni budaya Banyuwangi, maka perlu dimasukkan pada kegiatan petik laut. Dalam gerakan tari Gandrung juga terdapat makna rasa suka duka dan rasa syukur di dalamnya. Mengingat Muncar juga bagian dari Kabupaten Banyuwangi yang tidak lepas dari tradisi dan budayanya. Kesenian dan kebudayaan yang ada di Banyuwangi memang sangat banyak, namun kesenian Gandrung lah yang menjadi ciri khas dari daerah yang terletak di paling ujung timur pulau Jawa ini. Oleh karena itu, didalam rangkaian upacara adat petik laut di Muncar, Gandrung selalu tampak dengan keindahan yang menjadi ciri khasnya. Tari Gandrung juga dianggap sebagai pemujaan terhadap roh. Roh atau arwah leluhur beralasan dihormati untuk mengharapkan berkah atau petunjuk, dengan cara mengadakan pemujaan terhadap roh-roh yang dimaksud. Pemujaan terhadap roh umumnya dilakukan dalam bentuk upacara dengan atau tanpa tarian yang menyertai (Kusmayati & Hidajat Robby, 1990)

Terlihat dari prosesi iring-iringan yang peneliti lihat di lapangan, bahwasanya dua penari Gandrung memang selalu berada di depan, dan sesekali di samping kanan kiri sesajen/githik. Iring-iringan dilakukan dari rumah donatur di sepanjang jalan raya Muncar menuju TPI (Tempat Pengelolaan Ikan) hingga bibir pantai. Masyarakat yang meyaksikan iring-iringan didepan rumah ataupun di jalan sesekali menyapa dan mendokumentasikan tradisi yang dilakukan hanya sekali dalam satu tahun di daerahnya. Dua penari Gandrung berdiri diatas mobil pickup bersama tokoh adat, sesepuh adat, dan sesajen/githik, menunjukkan bahwa Gandrung dan tradisi petik laut inilah merupakan budaya khas Banyuwangi khususnya budaya daerah pesisir Muncar yang terus dijaga kesakralan, keindahan serta terus dapat dilestarikan dari masa ke masa oleh para generasi bangsa.

  1. Fungsi Sesaji
    Mendampingi sesajen/githik juga merupakan peran dari penari Gandrung pada pelaksanaan upacara adat petik laut di Muncar. Penari Gandrung yang berjumlahkan dua orang penari mengawal sesajen/githik dari rangkaian awal iring-iringan hingga dilarungkan ke laut. Tidak hanya dua penari Gandrung, ada tokoh adat yang juga ikut mengawal sesajen/githik ini. Tiga komponen sesajen/githik, penari Gandrung, dan tokoh adat ini merupakan komponen penting dalam pelaksanaan upacara adat petik laut. Selain penari Gandrung dan tokoh adat yang mendampingi dan mengawal ketat sesajen, banyak tokoh masyarakat yang juga ikut serta mendampingi dan mengawal sesajen/githik. Tetapi yang paling diutamakan adalah penari Gandrung dan tokoh adat. Penari Gandrung selalu beriringan dengan sesajen/githik pada setiap rangkaian upacara. Bahkan, pada pemasangan pancing emas pun pada kepala kambing kendhit, penari Gandrung juga ikut mendampingi. Hal tersebut memiliki maksud tersendiri, karena menambah kesan kesakralan bagi masyarakat yang melihatnya pada rangkaian prosesi yang didampingi penari Gandrung dan tokoh adat tersebut.
  2. Fungsi Hiburan

Gandrung merupakan kesenian sekaligus sebagai hiburan bagi masyarakat Banyuwangi. Kesenian Gandrung ini dipentaskan bila diundang untuk memeriahkan perkawinan, khitanan, dan seseorang yang mempunyai hajat tertentu, sering juga dipergelarkan di pasar malam hanya sampai 24.00 (Armaya, 2002). Seperti yang dijelaskan oleh Armaya di bukunya, bahwa kesenian Gandrung dahulu hanya dipentaskan apabila diundang, dan bisa dikatakan jarang orang yang mengundangnya. Berbeda halnya pada tahun 1960 hingga sekarang ini, kesenian Gandrung sudah berkembang dengan pesat. Gandrung sudah banyak diundang di manapun dan kapanpun. Terlebih saat ini, Gandrung dijadikan tarian penyambutan tamu di acara-acara besar di Banyuwangi. Bentuk pelestarian Gandrung oleh pemerintah daerah dapat dilihat dari adanya Festival Gandrung Sewu yang digelar setiap satu tahun sekali.

Dari sepengetahuan peneliti, penyajian pertunjukan tari Gandrung sebagai hiburan masyarakat pesisir pantai dan nelayan pada upacara adat petik laut di Muncar dahulu dilakukan semalam suntuk dari beberapa sumber artikel yang sudah peneliti baca dan pahami. Akan tetapi, pada upacara adat Petik Laut 2021 ketika peneliti terjun langung ke lapangan terdapat perbedaan dari pertunjukan Gandrung yang terdahulu dan yang sekarang. Letak perbedaannya terdapat di lokasi dan waktu yang dilaksanakan pada saat upacara adat petik laut berlangsung. Dua penari Gandrung yang turut andil pada upacara adat petik laut hanya menari dan menghibur masyarakat pada pagi hari sekitar pukul 08:00 WIB.

Pertunjukan Gandrung ini juga sebagai simbol pembukaan dari dilaksanakannya rangkaian upacara adat petik laut di Muncar. Dalam seni pertunjukan pada ritual, biasanya terdapat tari ritual didalamnya. Tari ritual ialah salah satu bentuk perilaku atau aktivitas manusia yang telah terlembaga, dan sebagai bagian dari keseluruhan sistem tindakn manusia (sistem sosial, sistem kultural, dan sistem kepribadian) (Hadi Sumandiyo, 2005). Kendatipun, terdapat perbedaan dahulu dan sekarang, namun peran dan tujuan dari pertunjukan Gandrung ini sama, yaitu sebagai hiburan bagi masyarakat pesisir pantai khususnya nelayan. Hiburan ini sekaligus sebagai bentuk perayaan dan rasa syukur masyarakat pesisir yang ada di Muncar. Upacara adat Petik Laut adalah upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat pesisir pantai yang bermata pencaharian nelayan. Petik Laut dilakukan sebagai bentuk kenikmatan rasa syukur para nelayan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain sebagai rasa syukur, Petik Laut bertujuan untuk bagaimana para nelayan memiliki rasa dan sikap welas asih kepada alam. Welas asih yang dimaksud ialah bentuk perhatian para nelayan kepada lingkungan di wilayah Muncar khususnya lingkungan laut. Petik laut dilaksanakan setiap satu tahun sekali, pada bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa. Upacara adat petik laut di Muncar memiliki beberapa rangkaian prosesi. Petik laut memiliki tiga komponen penting dalam pelaksanaan upacara, diantaranya githik, sesepuh adat, dan penari Gandrung. Githik merupakan sesajen yang didalamnya terdiri dari kepala kambing, pancing emas, jenang merah putih, jenang pliring (hitam), jajanan pasar, nasi uduk, nasi tumpeng, nasi rasul, semua buah-buahan, pisang raja, pisang pulut, ayam hidup (pitik walik), bunga, dan dupa.

Berdasarkan penemuan peneliti yang dilakukan pada penelitian upacara adat petik laut, penari Gandrung penari Gandrung ialah suatu bentuk komponen yang tidak dapat dipisahkan pada terselenggaranya upacara adat petik laut di Muncar. Dalam tarian dan nyanyian yang disajikan terdapat filosofi dan makna akan rasa suka duka serta rasa syukur. Gandrung wajib di masukkan dalam pelaksanaan upacara adat Petik Laut selain menjadi ikon dan identitas dari kabupaten Banyuwangi. Keberadaan penari Gandrung pada upacara adat petik laut di Muncar Kabupaten Banyuwangi memiliki peran yang penting dalam pelaksanaannya. Fungsi penari Gandrung dalam upacara adat petik laut adalah sebagai fungsi simbolik budaya kabupaten Banyuwangi, fungsi sesaji dan fungsi hiburan bagi masyarakat pesisir.

OFFICIAL
JURUSAN